A
|
ku
sekarat dengan keinginanku menjadi penulis fiksi. Aku gila dengan
ketidaktahuanku untuk mengawalinya. Pengetahuanku yang sedikit mengenai
kata-kata membuat aku tak mampu merajutnya menjadi kerangka tulisan. Aku tak
mengerti, bagaimana sebuah tulisan menggambarkan seseorang yang menangis
kehilangan orang tuanya. Seorang gadis kecil yang menginginkan hidupnya hanya
berlangsung 10 menit. “ Aku ingin setiap hariku adalah sepuluh menit,” kata si
gadis. Kau tahu, hanya sedikit yang dapat aku beritahukan kecuali perkataan
setiap orang yang aku ingat. Aku tak sanggup, meski dengan tangisku yang
memuncak untuk menemukan kata yang dapat aku tulis sebagai gambaran dari
kejadian nyata yang aku lihat. Apa maksud benarku berkingingan menjadi seorang
penulis, tanpa mengenal banyak kata-kata? Kata yang terucap. Kata yang
terkatakan. Kata yang tersirat. Kata yang terlukis. Kata yang tak tergambar
lewat perkataan. Aku senang bisa membaca dan menulis. Meski belum sepandai bagi
mereka yang telah berhasil dengan karya tulisnya. Aku ingin menjadi penulis.
Tapi apa yang akan aku tulis? Apakah dengan dasar ketidaktahuanku, Kekosongan,
kegelapan, akan ada karya yang dapat aku cipta? Dunia penuh dengan warna-warni,
tentu aku bisa mengisinya. Memulai cerita seakan aku melukis dunia. Aku bebas
memberinya warna. Aku ingin bebas mewarnai duniaku. Akupun ingin tahu,
bagaimana caramu mewarnai dunia ? aku ingin melukis dengan setiap warna yang
kau tunjuk suka. Bahkan warna yang memberimu rasa takut. Rasa takutmu seperti
rasa takutku. Aku menemukan dunia baru dalam setiap goresan pena. Dunia yang
terkadang asing aku lihat dan dengar. Aku tidak harus menyebutnya pelangi. Saat
warna yang berbeda saling berpadu pada setiap helai bulu-bulu burung. Aku bisa
melihat pelangi sebelum terlalu lama menunggu hujan turun. Bulu burung yang
memberitahuku. Warna pelangi yang nampak melingkar di pelataran warna biru
langit. Apakah aku bisa, melihat pelangi di malam hari yang berkabut gelap? Ya
Tuhan, dunia amat luas untuk aku genggam. Aku ingin ada jembatan yang dapat
mengantarku ke sisi lain pada duniamu. Mampukah aku menghadirkan pelangi di
kehidupanku yang penuh sisi? Aku bukan bermaksud menghindari kenyataan. Karena
pada saatnya, kenyataanpun tak rela melihatku melupakan mimpi. Aku bukan tidak
menerima kenyataan, tapi hariku yang begitu rumit, menginginkanku berbalik sisi
untuk kenyataan lain, bukan dari kenyataan. Aku tidak ingin mudah berputus asa.
Berpasrah diri dari menerima keadaan yang sedang terjadi tak menyenangkan diri.
Adakah pelangi yang akan mengembalikan warna pada sisi duniaku yang hilang? Aku
nyaris tak mendengar kicauan burung menyabut pagi. Mengepak sayapnya untuk
mengibur langit yang merindukan pelangi, sesaat hujan air turun mengembalikan
tawa pada tanah airku yang menyurut gersang. Kau tahu, bukan saja pelangi yang
aku rindukan, tapi kebahagiaan negeriku yang mulai mengasing. Meski aku tahu,
dunia mustahil tanpa warna. Ialah warna saat engkau berada di kegelapan. Ialah
warna saat abu-abu merapi menyebar di sebuah pemukiman penduduk. Aku hanya
tidak ingin, melihat warna yang berubah jadi petaka, bencana, atau tirani
penguasa. Aku mulai menyadari, saat pagi menjelang di negeriku. Aku tidak bisa
lagi merasakan udara segar yang menertawai kesibukanku sebagai anak-anak.
Saat
usiaku lima tahun, aku tidak ingin tumbuh dewasa begitu cepat. Karena
pada saatnya, aku akan melawati 40-60 tahun nanti. Aku tidak bisa
menyembunyikan watakku sebagai anak-anak. Bermain disetiap hal yang aku sukai.
Melompat, meraih ranting daun jambu yang menjulur di tengah jalan. Aku tidak
perlu menunggu 10 tahun yang akan datang, hanya untuk menyelesaikan lompatanku
menangkap daun-daun yang berada lebih atas dariku. Aku hanya ingin menjalani
hari-hariku selayaknya anak kecil, yang menjadikan setiap permainannya sebagai
hal yang serius. Membangun jalan dan perkotaan dengan menyisiri lataran kerikir
di depan beranda rumah atau pekerangan yang berlahan kosong. Kemudian melapisi
setiap sisiran dengan menaburi tanah kering yang sudah di haluskan. Tanah yang
lembut dan halus itu, memudahkan setiap mobil rakitan yang akan melewatinya.
Mobil yang kami buat dengan beberapa potongan kayu dan karet untuk temali,
serta roda dari potongan melingkar sandal bekas. Tiada hal yang lebih indah,
ketika bisa menikmati masa anak-anak dengan bebas pada setiap permainan.
Bermain, membuat waktu berputar terasa lebih cepat. Seperti mendengar malam dan
siang saling berebut kedudukan. Lalu aku akan sadar, saat rasa lelah dan
keletihan mulai meremas ragaku, menarik-narik kelopak mataku untuk di pejamkan.
Oh tidak, aku tidak ingin mendengar kicauan burung di pagi hari, menyela
mimpiku yang berkabut tanpa kejelasan. Suara angin yang mengiggil di bibir
jendela. Sahut-semahut ayam jantan dan betina mengawali aktivitasnya. Aku tidak
ingin beranjak dari tidurku. Berguling di kerajang tua, hingga terdengar telupuh
bambu yang menggeliat. Tidur seperti bermain, membuat waktu nampak cepat
berlalu. Tapi terasa menyebalkan, saat hari itu kau tak bisa lagi merasakan
kepuasan tidur. Waktu pun terasa menggagu permainan kita. Aku harus segera
bangkit dari tempat tidurku. Berlari mengambil air untuk aku basuhkan ke muka.
Aku merasakan sejuk di pipiku. Aku ingin setiap hari berlangsung dengan
kesejukan. Usiaku saat ini 19 tahun. aku pernah berpikir menikah di usia muda.
Memiliki satu rumah dan anak yang tak beda jauh usianya denganku. “ Siapa yang
mau menikah denganku?”, Oh tidak, siapa yang akan memberiku izin menikah?”, ini
pertanyaan yang lebih penting”, kata hatiku. Apa yang sebenarnya ada dalam
pikiranku untuk melakukan pernikahan dini. Ini memang bukan persolan mengenai
seuatu hubungan serius dengan sebuah ikatan. Ini menyangkut bagi kelangsungan
hidupku. Setiap orang berhak memikirkan kelangsungan hidupnya. Apapun
permasalahan yang menimpaku, aku tidak ingin membuatnya menjadi bencana.
Membuat seseorang menjadi kecewa, marah, bahkan terbunuh. Apa yang membuat
seseorang membunuh satu sama lain hanya demi kelangsungan hidupnya? Aku takut.
Aku takut. Takut karena kejadian itu selalu berlangsung di Negeri dan Duniaku.
Bagiku, ini bukanlah bagaimana aku dapat bertahan hidup, tapi bagaimana aku
tidak akan mati sia-sia. Tuhan tidak bermaksud membunuh dan menciptakan mahluk
abadi. Dia hanya ingin melihat, Apakah hidup itu hanya untuk bertahan hidup?
Tentu ini mustahil, meskipun Negeri asing di belahan dunia lain, bergembira
merayakan kemenangannya dari peperangan. Aku senang menmikirkannya, walau ini
terasa rumit. Aku hanya ingin hidup tanpa melihat orang lain terbunuh olehku.
Aku Ahmad Nur Mubarok, biasa dipanggil Barok. Meskipun terkadang orang lain
memanggilku Anum. Ini hanya kepedekan dari namaku. Aku di lahirkan di Desa
Kambangan, Tegal, Jawa Tengah – Indonesia. Aku anak terakhir dari dua saudara
dan dua saudari. Menjadi bungsu, tidaklah sesenang yang anda pikirkan. Namun, ketidaksenangan
bukanlah sebuah masalah, tapi ketidaksadaranku dalam memahami hidup yang dapat
memperlambatku untuk tersenyum bahagia. Tentunya, aku harus siap merasakan satu
kesukaran sebelum menerima satu kemudahan. “Do’akan hamba Tuhan, karena
hamba tidak mungkin men-do’akan-Mu yang Maha segala-galanya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar