Senin, 12 Desember 2016

CERITA FIKSI


A
ku sekarat dengan keinginanku menjadi penulis fiksi. Aku gila dengan ketidaktahuanku untuk mengawalinya. Pengetahuanku yang sedikit mengenai kata-kata membuat aku tak mampu merajutnya menjadi kerangka tulisan. Aku tak mengerti, bagaimana sebuah tulisan menggambarkan seseorang yang menangis kehilangan orang tuanya. Seorang gadis kecil yang menginginkan hidupnya hanya berlangsung 10 menit. “ Aku ingin setiap hariku adalah sepuluh menit,” kata si gadis. Kau tahu, hanya sedikit yang dapat aku beritahukan kecuali perkataan setiap orang yang aku ingat. Aku tak sanggup, meski dengan tangisku yang memuncak untuk menemukan kata yang dapat aku tulis sebagai gambaran dari kejadian nyata yang aku lihat. Apa maksud benarku berkingingan menjadi seorang penulis, tanpa mengenal banyak kata-kata? Kata yang terucap. Kata yang terkatakan. Kata yang tersirat. Kata yang terlukis. Kata yang tak tergambar lewat perkataan. Aku senang bisa membaca dan menulis. Meski belum sepandai bagi mereka yang telah berhasil dengan karya tulisnya. Aku ingin menjadi penulis. Tapi apa yang akan aku tulis? Apakah dengan dasar ketidaktahuanku, Kekosongan, kegelapan, akan ada karya yang dapat aku cipta? Dunia penuh dengan warna-warni, tentu aku bisa mengisinya. Memulai cerita seakan aku melukis dunia. Aku bebas memberinya warna. Aku ingin bebas mewarnai duniaku. Akupun ingin tahu, bagaimana caramu mewarnai dunia ? aku ingin melukis dengan setiap warna yang kau tunjuk suka. Bahkan warna yang memberimu rasa takut. Rasa takutmu seperti rasa takutku. Aku menemukan dunia baru dalam setiap goresan pena. Dunia yang terkadang asing aku lihat dan dengar. Aku tidak harus menyebutnya pelangi. Saat warna yang berbeda saling berpadu pada setiap helai bulu-bulu burung. Aku bisa melihat pelangi sebelum terlalu lama menunggu hujan turun. Bulu burung yang memberitahuku. Warna pelangi yang nampak melingkar di pelataran warna biru langit. Apakah aku bisa, melihat pelangi di malam hari yang berkabut gelap? Ya Tuhan, dunia amat luas untuk aku genggam. Aku ingin ada jembatan yang dapat mengantarku ke sisi lain pada duniamu. Mampukah aku menghadirkan pelangi di kehidupanku yang penuh sisi? Aku bukan bermaksud menghindari kenyataan. Karena pada saatnya, kenyataanpun tak rela melihatku melupakan mimpi. Aku bukan tidak menerima kenyataan, tapi hariku yang begitu rumit, menginginkanku berbalik sisi untuk kenyataan lain, bukan dari kenyataan. Aku tidak ingin mudah berputus asa. Berpasrah diri dari menerima keadaan yang sedang terjadi tak menyenangkan diri. Adakah pelangi yang akan mengembalikan warna pada sisi duniaku yang hilang? Aku nyaris tak mendengar kicauan burung menyabut pagi. Mengepak sayapnya untuk mengibur langit yang merindukan pelangi, sesaat hujan air turun mengembalikan tawa pada tanah airku yang menyurut gersang. Kau tahu, bukan saja pelangi yang aku rindukan, tapi kebahagiaan negeriku yang mulai mengasing. Meski aku tahu, dunia mustahil tanpa warna. Ialah warna saat engkau berada di kegelapan. Ialah warna saat abu-abu merapi menyebar di sebuah pemukiman penduduk. Aku hanya tidak ingin, melihat warna yang berubah jadi petaka, bencana, atau tirani penguasa. Aku mulai menyadari, saat pagi menjelang di negeriku. Aku tidak bisa lagi merasakan udara segar yang menertawai kesibukanku sebagai anak-anak.

Saat usiaku lima tahun, aku tidak ingin tumbuh dewasa begitu cepat. Karena pada  saatnya, aku akan melawati 40-60 tahun nanti. Aku tidak bisa menyembunyikan watakku sebagai anak-anak. Bermain disetiap hal yang aku sukai. Melompat, meraih ranting daun jambu yang menjulur di tengah jalan. Aku tidak perlu menunggu 10 tahun yang akan datang, hanya untuk menyelesaikan lompatanku menangkap daun-daun yang berada lebih atas dariku. Aku hanya ingin menjalani hari-hariku selayaknya anak kecil, yang menjadikan setiap permainannya sebagai hal yang serius. Membangun jalan dan perkotaan dengan menyisiri lataran kerikir di depan beranda rumah atau pekerangan yang berlahan kosong. Kemudian melapisi setiap sisiran dengan menaburi tanah kering yang sudah di haluskan. Tanah yang lembut dan halus itu, memudahkan setiap mobil rakitan yang akan melewatinya. Mobil yang kami buat dengan beberapa potongan kayu dan karet untuk temali, serta roda dari potongan melingkar sandal bekas. Tiada hal yang lebih indah, ketika bisa menikmati masa anak-anak dengan bebas pada setiap permainan. Bermain, membuat waktu berputar terasa lebih cepat. Seperti mendengar malam dan siang saling berebut kedudukan. Lalu aku akan sadar, saat rasa lelah dan keletihan mulai meremas ragaku, menarik-narik kelopak mataku untuk di pejamkan. Oh tidak, aku tidak ingin mendengar kicauan burung di pagi hari, menyela mimpiku yang berkabut tanpa kejelasan. Suara angin yang mengiggil di bibir jendela. Sahut-semahut ayam jantan dan betina mengawali aktivitasnya. Aku tidak ingin beranjak dari tidurku. Berguling di kerajang tua, hingga terdengar telupuh bambu yang menggeliat. Tidur seperti bermain, membuat waktu nampak cepat berlalu. Tapi terasa menyebalkan, saat hari itu kau tak bisa lagi merasakan kepuasan tidur. Waktu pun terasa menggagu permainan kita. Aku harus segera bangkit dari tempat tidurku. Berlari mengambil air untuk aku basuhkan ke muka. Aku merasakan sejuk di pipiku. Aku ingin setiap hari berlangsung dengan kesejukan. Usiaku saat ini 19 tahun. aku pernah berpikir menikah di usia muda. Memiliki satu rumah dan anak yang tak beda jauh usianya denganku. “ Siapa yang mau menikah denganku?”, Oh tidak, siapa yang akan memberiku izin menikah?”, ini pertanyaan yang lebih penting”, kata hatiku. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku untuk melakukan pernikahan dini. Ini memang bukan persolan mengenai seuatu hubungan serius dengan sebuah ikatan. Ini menyangkut bagi kelangsungan hidupku. Setiap orang berhak memikirkan kelangsungan hidupnya. Apapun permasalahan yang menimpaku, aku tidak ingin membuatnya menjadi bencana. Membuat seseorang menjadi kecewa, marah, bahkan terbunuh. Apa yang membuat seseorang membunuh satu sama lain hanya demi kelangsungan hidupnya? Aku takut. Aku takut. Takut karena kejadian itu selalu berlangsung di Negeri dan Duniaku. Bagiku, ini bukanlah bagaimana aku dapat bertahan hidup, tapi bagaimana aku tidak akan mati sia-sia. Tuhan tidak bermaksud membunuh dan menciptakan mahluk abadi. Dia hanya ingin melihat, Apakah hidup itu hanya untuk bertahan hidup? Tentu ini mustahil, meskipun Negeri asing di belahan dunia lain, bergembira merayakan kemenangannya dari peperangan. Aku senang menmikirkannya, walau ini terasa rumit. Aku hanya ingin hidup tanpa melihat orang lain terbunuh olehku. Aku Ahmad Nur Mubarok, biasa dipanggil Barok. Meskipun terkadang orang lain memanggilku Anum. Ini hanya kepedekan dari namaku. Aku di lahirkan di Desa Kambangan, Tegal, Jawa Tengah – Indonesia. Aku anak terakhir dari dua saudara dan dua saudari. Menjadi bungsu, tidaklah sesenang yang anda pikirkan. Namun, ketidaksenangan bukanlah sebuah masalah, tapi ketidaksadaranku dalam memahami hidup yang dapat memperlambatku untuk tersenyum bahagia. Tentunya, aku harus siap merasakan satu kesukaran sebelum menerima satu kemudahan. “Do’akan hamba Tuhan, karena hamba tidak mungkin men-do’akan-Mu yang Maha segala-galanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar