KHANTIVĀDĪ-JĀTAKA35
Sumber
: Indonesia Tipitaka Center
Sang Guru bertanya kepada bhikkhu
itu, “Mengapa setelah bertahbis menjadi siswa dari Sang Buddha yang ajarannya
tidak mengenal apa itu kemarahan, Anda malah menunjukkan kemarahan? Orang bijak
di masa lampau, walaupun menderita ribuan kali cambukkan, walaupun tangan,
kaki, telinga dan hidung mereka dipotong, tidak menunjukkan kemarahan kepada
siapa pun.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah
kisah masa lampau.
____________________
____________________
Dahulu kala Raja Kāsi (Kasi) yang
bernama Kalābu (Kalabu) memerintah di Benares. Kala itu, Bodhisatta terlahir
sebagai pemuda bernama Kuṇḍaka (Kundaka) di sebuah keluarga brahmana yang
memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta. Ketika dewasa, ia memperoleh
pengetahuan tentang semua bidang ilmu pengetahuan di Takkasila, dan sesudahnya,
pulang kembali ke rumah sebagai seorang perumah tangga.
Suatu hari raja Kalabu, dengan
keinginan meminum minuman keras, pergi ke taman dengan rombongan yang besar dan
dikelilingi oleh rombongan penari. Kemudian ia meminta anak buahnya untuk
menyiapkan pembaringan pada satu papan batu yang besar dan berbaring dengan
kepala di atas pangkuan istri kesayangannya, sedangkan para penari, yang ahli
dalam tarik suara dan alat-alat musik serta tarian, menyajikan satu hiburan
musikal—demikian besar kejayaannya, seperti kejayaan Sakka, Raja Dewa—dan
kemudian raja pun tertidur.
Kala itu, Bodhisatta sedang duduk di
dalam taman tersebut di bawah pohon sala yang berbunga, seperti gajah dalam
kebanggaan akan kekuatannya, menikmati kebahagiaan terlepas dari keduniawian.
Kemudian wanita-wanita yang sedang berjalan-jalan di sana melihat dirinya dan
berkata, “Kemarilah, mari kita duduk dan mendengarkan sesuatu dari petapa yang
sedang beristirahat di bawah pohon ini, selagi raja tidur.” Mereka pun pergi
dan memberi penghormatan kepadanya. Setelah duduk mengelilinginya, mereka
berkata, “Ajarkanlah sesuatu yang baik untuk kami dengar.” Kemudian Bodhisatta
mengajarkan ajarannya kepada mereka.
Ketika melihat raja datang dengan
marah, para wanita yang baik itu pergi dan mengambil pedang dari tangan raja,
kemudian menenangkan dirinya. Kemudian raja mendatangi petapa itu dan berdiri
di dekat Bodhisatta, bertanya, “Apa yang kamu ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang
kesabaran, Paduka,” jawabnya. “Apa itu kesabaran?” tanya raja itu. “Tidak marah
ketika orang mencerca, memukul dan mencaci maki dirimu,” jawabnya. Raja
berkata, “Sekarang akan kuuji kebenaran dari ajaran kesabaranmu,” [41] dan
memanggil algojonya.
Algojo datang dengan membawa sebuah
kapak, cambuk duri, mengenakan jubah kuning dan untaian bunga merah, memberi
hormat kepada raja dan berkata, “Apa perintahmu, Paduka?” “Bawa dan seret
petapa gadungan ini,” kata raja, “baringkan ia di tanah dan cambuk dengan
cambuk duri sebanyak dua ribu kali di bagian depan, belakang dan kedua
sisinya.” Algojo melaksanakan perintahnya, bagian luar dan dalam kulit
Bodhisatta terkelupas, terpotong sampai ke dagingnya, dan darah mengalir
keluar.
Raja bertanya lagi, “Apa yang kamu
ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda pikir
kesabaranku berada di dalam kulit. Kesabaranku tidaklah berada di dalam kulit,
melainkan berada sangat dalam di satu tempat, tempat Anda tidak bisa
melihatnya, Paduka.” Algojo bertanya kembali, “Apa perintahmu, Paduka?” Raja
berkata, “Potong kedua kaki dan tangan dari petapa gadungan ini.” Algojo
mengambil kapaknya, dan setelah meletakkan korbannya di dalam lingkaran maut,
memotong kedua tangannya. Kemudian raja berkata, “Potong kedua kakinya,” dan kaki
sang petapa pun dipotong. Darah mengucur deras dari kedua kaki dan tangan
Bodhisatta seperti air yang mengucur keluar dari sebuah kendi pecah.
Sekali lagi raja menanyakan ajaran
apa yang diajarkannya. “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda
pikir kesabaranku berada di kedua kaki dan tanganku. Kesabaranku tidaklah
berada di di sana, melainkan berada di dalam suatu tempat.” Raja berkata,
“Potong hidung dan kedua telinganya.” Algojo melaksanakannya. Sekujur tubuhnya
sekarang berlumuran darah, dan kembali raja menanyakan ajaran apa yang
diajarkannya. Dan ia berkata, “Janganlah berpikir bahwa kesabaranku berada di
ujung hidung dan telingaku. Kesabaranku berada jauh di dalam hatiku.” Raja
berkata, “Berbaringlah, Petapa gadungan, dan kembangkanlah kesabaranmu di
sana.” Setelah berkata demikian, raja memijak dada Bodhisatta dengan kakinya,
dan kemudian pergi.
Ketika ia telah pergi, Panglima
mengusap darah dari tubuh Bodhisatta, [42] membalutkan perban36 di
kedua kaki, tangan, telinga, dan hidungnya. Setelah mendudukkannya pada
satu tempat duduk dengan pelan, ia memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi
dan berkata, “Jika, Yang Mulia, Anda hendak marah kepada orang yang melakukan
perbuatan buruk ini, maka marahlah (hanya) kepada raja, jangan marah kepada
yang lainnya.” Panglima mengulangi bait berikut sewaktu memohon permintaan
tersebut di atas:
Ia yang memotong hidung dan
telingamu,
dan memotong kaki dan tanganmu, marahlah kepadanya,
tetapi, kami mohon, ampunilah kerajaan ini.
dan memotong kaki dan tanganmu, marahlah kepadanya,
tetapi, kami mohon, ampunilah kerajaan ini.
Bodhisatta yang mendengar ini
mengucapkan bait kedua berikut:
Semoga Paduka panjang umur,
yang tangannya menghancurkan tubuhku ini,
orang-orang suci seperti diriku ini
tidak pernah menanggapinya dengan kemarahan.
yang tangannya menghancurkan tubuhku ini,
orang-orang suci seperti diriku ini
tidak pernah menanggapinya dengan kemarahan.
Persis di saat raja berjalan keluar
dari taman itu, ketika ia tidak terlihat dari jarak pandang Bodhisatta, bumi
megah yang tebalnya dua ratus empat puluh ribu yojana terpecah menjadi dua,
terjatuh seperti pakaian dari bahan yang amat berat, dan kobaran api dari
neraka Avīci (Avici) menangkap raja, dan membungkusnya seperti jubah kerajaan
yang terbuat dari kain wol merah. Demikian raja tenggelam masuk ke dalam bumi
persis di atas pintu gerbang taman dan berada di Alam Neraka Avici. Bodhisatta
meninggal pada hari yang sama itu juga.
Para anak buah raja dan penduduk
datang dengan membawa wewangian, untaian bunga dan dupa di tangan mereka untuk
melakukan upacara pemakaman Bodhisatta. Beberapa orang mengatakan bahwa
Bodhisatta langsung terlahir kembali di Himalaya.
Setelah menyampaikan uraian-Nya,
Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di
akhir kebenarannya, bhikkhu yang pemarah itu mencapai tingkat kesucian Anāgāmī,
dan banyak lagi lainnya yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.:—Pada masa
itu, Devadatta adalah Kalābu (Kalabu), Raja Kasi, Sāriputta adalah panglima dan
saya sendiri adalah sang petapa, si pengajar kesabaran.”
Khanti Parami (Kesabaran)
Dalam Khantivadi Jataka (Cerita Tentang Pertapa Khantivadi, diceritakan bahwa Bodhisatta terlahir sebagai seorang pertapa, yang bermeditasi di bawah sebuah pohon di taman kerajaan. Ia tinggal di sana atas undangan pejabat kerajaan.
Pada suatu hari raja pergi ke taman bersama wanita-wanita penghibur. Dalam keadaan mabuk raja tertidur di pangkuan wanita penghibur kesayangannya. Ketika ia tertidur, wanita-waita penghibur yang lain pergi ke pertapa Khantivadi untu mendengarkan ajarannya. Pada saat raja terbangun, wanita-wanita penghibur itu tidak ada. Mendengar mereka ke pertapaan untuk mendengarkan ajaran, Raja amat marah. Ia menghampiri Pertapa Khantivadi yang tidak bersalah itu dan bertanya dengan suara keras: "Apa yang kamu ajarkan , hai pertapa?" .
"Aku mengajarkan kesabaran, Yang Mulia" jawabpertapa itu. dengan tenang.
"Apakah kesabaran itu?"
"Kesabaran adalah tidak marah apabila kamu dianiaya atau dipukuli."
"Baiklah, aku akan menguji kesabaranmu", kata Raja. Ia lalu memerintahkan algojonya untuk melemparkan pertapa itu ke tanah dan memukulinya dengan cambuk. Pertapa yang suci itu dipukuli tanpa belas kasihan. Kulitnya penuh ddengan luka bekas cambukan , seluruh tubuhnya berdarah darah. tetapi pertapa yang melaksanakan ajaran untuk sabar itu, menahan sakit yang luar biasa itu dengan penuh kesabaran.
"Masihkah
kamu melatih kesabaran, hai pertapa?"
"Ya, tentu saja, Yang Mulia"
Raja lalu memerintahkan untuk memotong kedua tangan dan kakinya, dan bertanya kembali. Dengan penuh ketenangan, pertapa itu menjawab pertanyaan raja. Beliau lalu memerintahkan untuk memotong hidung dan kedua kupingnya. Tanpa belas kasihan algojo lalu memotong hidung dan kuping pertapa itu.
Dengan tubuh yang telah terpotong-potong dan bersimbah dengan darah itu, Raja lalu bertanya lagi kepada pertapa itu:
"Apakah kamu tetap latihan kesabaran?"
"Yang Mulia, janganlah berpikir bahwa kesabaranku terletak di kulit, di tangan, di kedua tangan atau kakiku, atau di hidung dan kedua kupingku. Kesabaranku berada di hati dan pikiranku. Dengan segala kekuatanmu, kamu dapat membuat tubuhku hancur. Tetapi pikiranku tidak akan pernah berubah.", pertapa itu menjawab pertanyaan raja dengan penuh ketenangan. Ia tidak punya keinginan untuk melawan raja, juga tidak terlihat marah saat ia memandang raja. Raja bertambah marah mendengar jawaban pertapa, ia lalu mengangkat kakinya dan menginjak dada pertapa yang tidak bersalah itu. Dengan segera darah menyembur dari mulut pertapa. Pejabat kerajaan yang mengundangnya, ketika mendengar kejadian itu, segera berlari menghampirinya. Dengan segera ia mengobati dan memohon untuk tidak mengutuk kerajaan. Pertapa yang penuh kasih itu bukannya mengutuk malah memberikan berkah kepada raja dengan berkata:
"Ia yang telah memotong tangan, kaki, hidung dan kupingku semoga panjang umur! Seorang laki-laki seperti kami tidak akan marah." Setelah Penerangan Sempurna, YMS Buddha berkata:
"Meskipun dipotong dengan kapak yang tajam seperti benda mati, Aku tidak marah kepada Raja Kasi.Inilah Penyempurnaan KesabaranKu."
"Ya, tentu saja, Yang Mulia"
Raja lalu memerintahkan untuk memotong kedua tangan dan kakinya, dan bertanya kembali. Dengan penuh ketenangan, pertapa itu menjawab pertanyaan raja. Beliau lalu memerintahkan untuk memotong hidung dan kedua kupingnya. Tanpa belas kasihan algojo lalu memotong hidung dan kuping pertapa itu.
Dengan tubuh yang telah terpotong-potong dan bersimbah dengan darah itu, Raja lalu bertanya lagi kepada pertapa itu:
"Apakah kamu tetap latihan kesabaran?"
"Yang Mulia, janganlah berpikir bahwa kesabaranku terletak di kulit, di tangan, di kedua tangan atau kakiku, atau di hidung dan kedua kupingku. Kesabaranku berada di hati dan pikiranku. Dengan segala kekuatanmu, kamu dapat membuat tubuhku hancur. Tetapi pikiranku tidak akan pernah berubah.", pertapa itu menjawab pertanyaan raja dengan penuh ketenangan. Ia tidak punya keinginan untuk melawan raja, juga tidak terlihat marah saat ia memandang raja. Raja bertambah marah mendengar jawaban pertapa, ia lalu mengangkat kakinya dan menginjak dada pertapa yang tidak bersalah itu. Dengan segera darah menyembur dari mulut pertapa. Pejabat kerajaan yang mengundangnya, ketika mendengar kejadian itu, segera berlari menghampirinya. Dengan segera ia mengobati dan memohon untuk tidak mengutuk kerajaan. Pertapa yang penuh kasih itu bukannya mengutuk malah memberikan berkah kepada raja dengan berkata:
"Ia yang telah memotong tangan, kaki, hidung dan kupingku semoga panjang umur! Seorang laki-laki seperti kami tidak akan marah." Setelah Penerangan Sempurna, YMS Buddha berkata:
"Meskipun dipotong dengan kapak yang tajam seperti benda mati, Aku tidak marah kepada Raja Kasi.Inilah Penyempurnaan KesabaranKu."
Khanti Vannani - jataka
Kisah
ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana tentang Raja Kosala.
Seorang bawahan yagn sangat berguna berselingkuh di tempat kediaman selir.
meskipun raja mengetahui hal ini, tetapi dia tetap merahasiakan penghinaan itu
karena orang tersebut sangat berguna dan raja menceritakannya kepada Sang Guru.
Kemudian beliau berkata,” Raja lain di masa pemerintahan lampau juga melakukan
hal yang sama.” Dan atas permintaannya, beliau menceritakan suatu kisah lampau
Dahulu
kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, seorang bawahan di istananya
terlibat perselingkuhan di tempat kediaman selir dam seorang pembantu dari
pejabat istana tersebut melakukan hal yang sama di rumahnya. Para pejabat
istana tersebut tidak dapat menahan penghinaan yang demikian, jadi dia membawa
pembantunya itu ke hadapan raja sambil berkata, “Paduka Raja, saya mempunyai
seorang pelayan yang melakukan semua pekerjaan dengan baik, dan dia membuat
saya menjadi seorang suami yang istrinya menyeleweng; apa yang harus saya
lakukan kepadanya?” dan dengan pertanyaan ini, dia mengucapkan bait pertama
berikut :
Ada seorang laki-laki di rumahku;
seorang pelayan yang rajin.Dia mengkhianati kepercayaaanku Oh Paduka
!Katakanlah, apa yang harus kulakukan ?
Ketika
mendengar kisah ini, raja mengulangi bait kedua
Saya juga mempunyai seorang pelayan
yang tajinl dan disini dia berdiri.Laki-laki yang baik, saya percaya sudah
langka ditemukan sekarang; jadi sabar
adalah saran saya
Pejabat
istana tersebut mengetahui bahwa kata-kata raja itu ditujukan terhadapnya dan
ke hadapannya. Dia tidak berani lagi melakukan perbuatan salah di hadapan raja.
Dan demikian juga pelayannya, mengetahui bahwa hal tersebut telah diceritakan
kepada raja kedepannya, dia tidak berani lagi untuk melakukan perbuatan
tersebut.
MAHISA-JĀTAKA252
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[385] “Mengapa
dengan sabarnya Anda,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru
ketika berada di Jetavana, tentang seekor kera yang tidak memiliki pengendalian
diri.Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi, terdapat seekor kera di dalam sebuah keluarga. Kera ini berlari masuk ke dalam kandang gajah, naik ke atas punggung seekor gajah yang baik, membuang kotoran dan mulai berjalan naik dan turun. Gajah yang baik dan sabar itu tidak melakukan apa pun (terhadap dirinya).
Tetapi, pada suatu hari seekor gajah yang jahat berada di dalam kandang tersebut. Berpikir bahwa dia adalah gajah yang sama, kera tersebut memanjat naik ke atas punggungnya. Gajah tersebut menangkapnya dengan menggunakan belalainya, membantingnya ke tanah dan memijaknya hingga berkeping-keping.
Kejadian ini diketahui oleh perkumpulan bhikkhu Saṅgha (Sangha). Dan pada suatu hari, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, apakah kalian telah mendengar bagaimana kera yang tidak memiliki pengendalian diri itu salah mengira seekor gajah yang buruk sebagai gajah yang baik, dan naik ke atas punggungnya, dan bagaimana dia kehilangan nyawanya?”
Sang Guru berjalan masuk dan bertanya, “Para Bhikkhu, apa yang sedang kalian bicarakan dengan duduk di sini?” Dan ketika mereka memberitahukan kepada-Nya, Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya kera yang tidak memiliki pengendalian diri itu bertingkah demikian, dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di daerah pegunungan Himalaya sebagai seekor kerbau. Dia tumbuh dewasa menjadi kerbau yang kuat dan besar, dan mengarungi banyak bukit dan gunung, puncak dan gua, serta hutan-hutan.
Suatu waktu ketika pergi, dia melihat sebuah pohon yang menarik. Setelah mencari makanannya, dia berdiri di bawah pohon tersebut. Kemudian seekor kera yang tidak memiliki pengendalian diri turun dari pohon itu ke punggungnya dan membuang kotoran, berpegangan pada satu tanduk sang kerbau, dia berayun ke bawah melalui ekornya, bermain-main untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Bodhisatta yang penuh dengan kesabaran, cinta kasih, dan welas asih, tidak memedulikan semua perbuatan buruknya itu. Kera tersebut tetap melakukan ini secara berulang-ulang. Pada suatu hari, makhluk dewata yang hidup di dalam pohon itu, dengan berdiri pada batang pohon, bertanya kepadanya [386], “Tuan Kerbau, mengapa Anda bisa bersabar dengan perlakuan buruk dari kera jahat itu? Hentikanlah perbuatannya!” dan mengulangi dua bait berikut:
Mengapa dengan sabarnya Anda sabar
menahan setiap perlakuan buruk dari kera jahat nan egois ini?
Remukkanlah dirinya, tusuklah dirinya dengan tandukmu!
Hentikanlah dirinya, kalau tidak anak-anak pun
tidak akan menunjukkan hormat mereka.
Mendengar ini, Bodhisatta membalas, “Dewa Pohon, jika saya tidak mampu menahan diri atas perlakuan buruk kera ini tanpa harus mengecam kelahiran, keturunan, dan kekuasaannya, bagaimana mungkin keinginanku dapat terwujudkan? Kera ini akan melakukan hal yang sama kepada kerbau lainnya, dengan berpikiran bahwa kerbau itu sama dengan diriku. Di saat kerbau lain membunuhnya, saya akan terbebas dari rasa sakit dan keburukan yang berdarah.” Setelah mengatakan itu, dia mengulangi bait ketiga berikut:
Jika dia memperlakukan yang lainnya
sama dengan dia memperlakukan diriku,
maka mereka yang akan menghancurkan dirinya;
saat itulah saya akan menjadi bebas.
Beberapa hari kemudian Bodhisatta pergi ke tempat lain, dan seekor kerbau lainnya, makhluk buas nan liar, datang dan berdiri di tempatnya. Kera jahat [387] yang berpikiran bahwa kerbau tersebut adalah kerbaunya yang lama, naik ke atas punggungnya dan melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Kerbau itu menggoyang-goyang dirinya sampai terjatuh ke tanah dan menusukkan tanduknya pada hati si kera, kemudian memijaknya hingga berkeping-keping di bawah kakinya.
____________________
Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, kerbau yang tidak baik adalah kerbau yang tidak baik, kera yang jahat adalah makhluk yang sama, sedangkan kerbau mulia nan bajik itu adalah diri-Ku sendiri.”
TITTIRA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[64] “Hidup yang bahagia,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang
diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Badarikārāma dekat Kosambī
(Kosambi), tentang Rāhula Thera (Rahula Thera). Kisah pembukanya diceritakan
secara lengkap dalam Tipallattha-Jātaka46.Dalam kisah ini, para bhikkhu di dalam balai kebenaran melantunkan pujian terhadap Yang Mulia Rahula, orang yang gemar belajar (melatih diri), cermat, dan sabar dalam memberikan nasihat. Sang Guru berjalan masuk dan mendengar pembicaraan ini, kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Rahula adalah orang yang gemar belajar, cermat, dan sabar dalam memberikan nasihat.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala, ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasilā (Takkasila) dan melepaskan keduniawian dengan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi. Di sana, ia menikmati kebahagiaan dalam jhana, ia tinggal di dalam hutan belantara, dan dari sana ia berkeliling untuk mendapatkan garam dan cuka sampai di suatu desa perbatasan.
Ketika orang-orang melihatnya, mereka menjadi pengikut ajarannya dan membangun sebuah gubuk daun untuknya, menyediakan semua keperluannya (sebagai petapa), membuat sebuah tempat tinggal bagi dirinya di sana. Pada saat itu, seorang penangkap unggas (burung) di desa ini menangkap seekor burung ketitir47, ia melatihnya sebagai pengumpan dan memeliharanya di dalam sebuah sangkar.
Kemudian ia membawanya ke hutan, dan dengan suara burung ketitir itu, mengumpan burung ketitir lainnya untuk datang mendekat. Burung ketitir pengumpan berpikir, “Karena diriku, banyak saudaraku yang lain menghadapi kematian mereka. Ini adalah sebuah perbuatan yang buruk bagiku.” Maka ia pun tidak bersuara lagi. Ketika mengetahui ia tidak bersuara, sang majikan memukul kepalanya dengan sebatang bambu. Karena merasa sakit, ia pun kembali bersuara dan pemburu itu kembali mendapatkan buruannya.
Kemudian burung ketitir berpikir lagi, “Baiklah, anggap mereka mati. Tidak ada niat buruk dalam diriku. Apakah ada akibat yang buruk disebabkan oleh perbuatanku ini? Ketika saya tidak bersuara, mereka tidak datang, tetapi mereka datang ketika saya bersuara. Dan mereka semua yang datang itu akan ditangkap dan dibunuh oleh orang ini. Apakah ada perbuatan buruk dalam hal ini dari diriku, atau tidak? Siapakah yang benar-benar dapat memberikan jawaban atas keraguanku ini?” Demikianlah seterusnya pemikiran burung ketitir tersebut.
[65] Dan ia pun mencari orang bijak yang demikian untuk dapat memberikan jawaban kepadanya. Pada suatu hari, pemburu ini berhasil menjerat banyak burung ketitir, memasukkan mereka ke dalam keranjangnya dan datang ke tempat Bodhisatta untuk meminta sedikit air minum. Setelah meletakkan keranjang yang dibawanya, ia meminum air, berbaring di tanah dan tertidur. Melihatnya sedang tertidur, burung ketitir pengumpan itu berpikir, “Saya akan bertanya kepada petapa ini mengenai keraguanku, dan jika ia tahu jawabannya, ia akan memecahkan permasalahanku.
Dengan tetap berada di dalam sangkarnya, ia mengulangi bait pertama berikut dalam bentuk pertanyaan:
Hidup yang bahagia kujalani sehari-hari,
makanan berlimpah tersedia untukku:
Yang Mulia, saya berada di suatu jalan
yang berbahaya, bagaimanakah masa depanku?
Bodhisatta menjawab pertanyaan ini dengan mengucapkan bait kedua berikut:
Jika tidak ada niat buruk di dalam pikiranmu
yang mengarah ke perbuatan buruk,
jika kamu hanya memainkan satu peran yang pasif,
maka kesalahan tidak berada pada dirimu.
Burung ketitir itu mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengar jawabannya:
‘Ah, saudaraku,’ demikian mereka berujar,
dan dengan berkelompok mereka datang melihatku.
Apakah saya bersalah, seharusnyakah mereka mati?
Tolong jawablah keraguan ini untukku.
[66] Mendengar perkataan ini, Bodhisatta mengulangi bait keempat berikut:
Jika tidak ada niat buruk di dalam pikiranmu,
maka perbuatanmu itu tidaklah buruk.
Ia yang memainkan satu peran yang pasif,
bebas dari segala kesalahan.
Demikianlah Sang Mahasatwa meyakinkan burung ketitir tersebut. Dan karena dirinya, burung ketitir itu terbebas dari perasaan bersalah. Kemudian penangkap unggas itu bangun, memberi hormat kepada petapa, membawa keranjangnya dan pergi.
____________________
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka sesudah menyelesaikan uraian-Nya: “Pada masa itu, ayam hutan adalah Rāhula (Rahula), dan saya sendiri adalah petapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar