Kisah Yustinus Martir
Yustinus Martir Lahir di kota Flavia Neapolis, (atau yang
dulu dikenal dengan nama Sikhem) kira-kira pada masa Rasul Yohanes mati. Ia
mendalami Filsafat. Pada masa mudanya ia menyaksikan banyak sekali penganiayaan
terhadap orang Kristen. Setelah bertobat, ia melakukan banyak perjalanan dengan
jubah seorang filsuf, namun dengan tujuan untuk memenangkan jiwa bagi Kristus.
Ia menulis "Pembelaan terhadap Kekristenan", sebuah surat yang
ditujukan kepada Kaisar Roma. Salah satu tokoh yang paling hebat di masanya. Ia
mati sebagai martir di kota Roma. Ia menunjukkan bahwa di masanya kekristenan
berkembang begitu pesat dengan berkata, "tidak ada satu ras pun di bumi
ini yang tidak berdoa dalam nama Yesus".
Inilah
apa yang dipahami oleh Yustinus Martir tentang ibadah dalam masa Gereja Kristen
mula-mula: "Semua yang tinggal di kota atau desa bertemu pada hari Minggu.
Kemudian dibacakanlah satu bagian dari tulisan para Rasul dan satu bagian dari
tulisan para Nabi. Tidak ada pembatasan waktu untuk pembacaan itu. Setelah itu,
pemimpin ibadah akan berbicara kepada jemaat, untuk menghayati dan mengamalkan
semua hal-hal mulia yang telah didengar itu. Kemudian semua kita akan berdiri
dan mengucapkan doa bersama-sama. Pada akhir dari doa, roti dan anggur dan
ucapan syukur atas karyanya, dan jemaat menjawab 'amin'. Kemudian roti dan
anggur itu dibagikan kepada setiap orang yang hadir, dan sisanya dibawa oleh
para diaken ke rumah-rumah mereka yang tidak bisa hadir. Mereka yang mampu dan
mereka yang rela kemudian akan memberikan persembahan sesuai kerelaan hatinya,
dan persembahan ini disimpan oleh pemimpin, untuk dipakai melayani para yatim,
janda, orang tahanan, orang asing, dan semua yang membutuhkannya."
Pengajaran dan Karyanya
Karya tulis Yustinus, The Apologist, ditujukan pada
Kaisar Antonius Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu
kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika
Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa
penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah
salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk
menunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa. Bagi Yustinus, seluruh
kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak
telah dilihami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran
Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyetir pemikiran Yunani dengan bebas dan
kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. Ia
mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai Logos, Firman Allah.
Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia jahat – tentang hal
ini Yustinus setuju dengan Plato. Namun melalui Kristus, LogosNya, Allah dapat
berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari
hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga
(demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan
Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja). Meskipun Yustinus
bersandar pada pemikiran Yunani, namun aliran pemikiran Yahudi ada padanya. Ia
kagum pada nubuat yang digenapi. Mungkin ia terpengaruh orang tua yang ia temui
di pantai. Tetapi iapun melihat bahwa nubuat Ibrani telah meyakinkan identitas
Yesus Kristus yang unik. Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan
orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani. Dalam karya
besar Yustinus lainnya, Dialog dengan Tryfo (Dialogues with Trypho),
ia menulis kepada seorang Yahudi – kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan
tradisi Ibrani. Disamping menulis, Yustinus mengadakan perjalanan yang cukup
jauh. Dalam perjalanannya ia selalu beragumentasi tentang iman yang
diyakininya. Di efesus, ia tertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu Marcion,
pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak
ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus
kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas
tuduhan memfitnah. Yustinuspun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal
kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya. Ia pernah menulis, “Anda
dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami.”
Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang
disandangnya sepanjang masa: Yustinus Martir.
Ia telah mempelajari ajaran-ajaran Stoa, Aristoteles dan
Phythagoras, tetapi sekarang ia menganut sistem Plato. Plato pernah menguraikan
bahwa penglihatan akan Tuhan dikaruniakan kepada mereka yang mencari kebenaran
dengan sungguh-sungguh. Itulah yang dikehendaki Yustinus, sang Filsuf. Ketika
berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang Kristen. Yustinus tersentak melihat
wibawa dan kerendahan hati orang tersebut. Orang itu mengutip nubuat Yahudi
yang menunjukkan bahwa cara-cara orang Kristen itulah yang benar dan Yesus
adalah pernyataan Allah yang sesungguhnya. Peristiwa itulah yang menjadi titik
balik Yustinus. Dengan merenungkan tulisan-tulisan Taurat, membaca Injil dan
surat-surat Paulus, maka iapun menjadi orang Kristen sejati. Selama sisa
hidupnya, lebih kurang tiga puluh tahun lamanya, ia mengadakan perjalanan,
melakukan pekabaran Injil dan menulis. Ia telah memainkan peranan penting dalam
perkembangan teologi gereja dalam memahami dirinya sendiri dan dalam citranya
yang ditampilkan kepada dunia. Sejak awal, gereja berperan di dua dunia yang
berbeda, dunia orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi. Kisah Para Rasul
menggambarkan lambannya dan terkadang sakitnya perkembangan kekristenan di
kalangan orang-orang bukan Yahudi. Petrus dan Stefanus mengadakan pekabaran
Injil kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus kepada filsuf-filsuf Athena
dan para penguasa Romawi. Dalam banyak hal, kehidupan Yustinus mirip dengan
kehidupan Paulus. Rasul ini adalah orang Yahudi yang lahir di daerah bukan
Yahudi (Tarsus) sedangkan Yustinus adalah orang bukan Yahudi yang lahir di
daerah Yahudi (Sikhem kuno). Keduanya terpelajar dan tangguh berargumentasi
untuk meyakinkan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi akan kebenaran Kristus.
Keduanya mati syahid di Roma karena keyakinan mereka. Pada pemerintahan para
kaisar abad pertama, seperti Nero dan Domitianus, tujuan gereja hanya untuk
dapat bertahan hidup dengan meneruskan tradisi mereka, yaitu menampilkan cinta
kasih yang menyerupai kasih Kristus sendiri. Sedangkan bagi orang luar,
kekristenan merupakan sekte primitif agama Yahudi dengan berbagai ajaran dan
praktiknya yang aneh. Menjelang pertengahan abad kedua, di bawah pemerintahan
yang adil oleh para kaisar seperti Trajanus, Antoninus Pius dan Marcus Aurelius,
gereja mulai membuka diri pada dunia luar untuk meyakinkan keberadaannya.
Yustinus menjadi salah seorang apologist (orang yang mempertahankan
pendiriannya dalam argumentasi) Kristen pertama, yang menjelaskan imannya
sebagai sistem yang masuk akal. Bersama-sama penulis lain, seperti Origenes dan
Tertullianus, ia menafsirkan kekristenan dalam istilah-istilah yang mudah
dikenal orang-orang Yunani dan Romawi terpelajar pada masa itu. Sebagai
tambahan pada karya-karyanya diatas, berikut adalah juga karya yang dikaitkan
kepada sang martir suci Yustinus sang Filsuf:
1) Sebuah Pidato kepada orang-orang Yunani,
2) Sebuah Pidato Hortatori kepada orang-orang
Yunani,
3) Mengenai Pemerintahan Tunggal Allah.
Pikiran Teologinya
Yustinus membuka sebuah sekolah filsafat Kristen, dan
kemudian mempertahankan kebenaran dari pengajaran Kristen, perlahan-lahan
memojokkan cara berfikir keliru para pagan (dalam suatu debat dengan sang
Pengejek dari filsuf Kresentius) dan penyelewengan-penyelewengan heretik
Kekristenan. Dia juga berseru lantang menentang pengajaran dari Gnostik
Marcian. Pada tahun 155, ketika kaisar Antoninus Pius (138-161) memulai suatu
penganiayaan melawan orang Kristen, Santo Yustinus secara pribadi memberinya
sebuah Apologi dalam membela dua orang Kristen tak bersalah yang dihukum
eksekusi yakni Ptolemaus dan Lusias.
Dalam Apologi itu dia menunjukkan kepalsuan-kepalsuan dari
para penfitnah menentang orang Kristen yang disalahkan semata-mata hanya karena
memiliki nama Kristen. Apologi itu begitu menyentuh sang kaisar dan dia
menghentikan penganiayaannya. Santo Yustinus bepergian kemana-mana, dengan
keputusan dari sang kaisar, ke Asia Kecil dimana mereka menganiaya orang
Kristen dengan sengitnya. Dalam perjalanan itu, dia mengumumkan pesan sukacita dari
edik kerajaan ke segenap sudut kota dan pelosok desa.
Debat Santo Yustinus dengan Rabbi Trypho terjadi di Efesus.
Sang filsuf Orthodox menunjukkan kebenaran dari pengajaran iman Kristen yang
berdasar pada tulisan-tulisan nubuat Perjanjian Lama. Santo Yustinus memberikan
suatu catatan dari debat ini dalam karya Dialognya dengan Trypho orang Yahudi.
Apologi kedua Santo Yustinus ditujukan kepada Senat Romawi.
Apologi ini ditulis pada tahun 161, segera setelah Markus Aurelius (161-180)
naik tahta.
Ketika dia kembali ke Italia, Santo Yustinus, seperti Para
Rasul, mengabarkan Injil dimana-mana, mempertobatkan banyak orang kepada Iman
Kristen. Ketika orang suci ini tiba di Roma, Kresentius yang jahat, yang selalu
ditaklukkan oleh Yustinus dalam debat, membawa banyak tuduhan-tuduhan palsu
menentangnya dihadapan pengadilan Romawi. Santo Yustinus berada dibawah
penjagaan ketat, dan kemudian menjalani hukuman mati sebagai martir pada tahun
165. Relik-relik dari Santo Yustinus sang Filsuf beristirahat di kota Roma.
Kesimpulan:
Yustinus Martir
memiliki kemauan untuk mengenali lebih dalam tentang Kristus.Oleh karena itu
ketika mendapat pencerahan dari seorang kakek- kakek ialangsung menelusuri
lebih dalam tentang orang-orang Kristen.Hingga ia mengorbankan nyawanya demi
Kristus.Ia juga melawan kekuasaan demi iman.setelah ia berhasil ia menuliskan
buku klasik yang berjudul “APOLOGIES” untuk membela orang-orang Kristen atau
Agama Kristen yang terbesar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar