Menurut sejarah Candi Borobudur dibangun oleh Raja
Smaratungga. Salah satu raja kerajaan Mataram kuno dari dinasti Syailendra pada
abad ke-8. Menurut legenda Candi Borobudur dibangun oleh seorang arsitek bernama
Gunadharma.
Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun
dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25
cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan
berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur
dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita
yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika
rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3
km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan
tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi
berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya
42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.
Dilihat dari kejauhan, Borobudur tampak seperti
susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Candi
Borobudur merupakan bangunan piramida yang berupa “kepunden berundak”.
Dilihat dari udara, bentuk Candi Borobudur mirip
dengan teratai. Teratai adalah simbol-simbol yang dipakai dalam penghormatan
(puja) agama Buddha, melambangkan kesucian, mengingatkan umat Buddha untuk
senantiasa menjaga pikiran dan hati tetap bersih meski berada di lingkungan
yang tidak bersih.
Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan
khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi
Borobudur adalah bangunan bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang
sekarang sudah kering. Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau
yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur.
Nama Borobudur merupakan gabungan dari kata “Bara” dan
“Budur”.” Bara” dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara.
Sedangkan “Budur” berasal dari kata Beduhur yang berarti di atas, dengan
demikian Borobudur berarti Biara di atas bukit.
Borobudur terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123
meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi
karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki
1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah
berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan
satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan
manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat
sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
* Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih
terikat nafsu.
* Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah
dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada
tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
* Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
* Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan
terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk
candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat
melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang
wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat
pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief
tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian
saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran
yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur
mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada
abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat
di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi
Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja
Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala
biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma.
Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut
“The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama
Bodhipathapradipa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar